Wulan dan Hari biasa mendidik ketiga anak mereka dengan keras dan disiplin. Maklumah, mereka pengusaha berhasil yang berangkat dari bawah. " Kalau mau kau pasti bisa," begitu kata mereka sering mengajarkan. Semua fasilitas terbaik pun disediakan demi kebahagiaan dan keberhasilan anak-anak itu.
Anehnya, beberapa tahun terakhir ini ada yang mengganjal. Si pengganjal itu bukan siapa-siapa, tapi justru TITI, si bungsu permata hati, yang selama ini lembut penurut. Selulus SMU, ia menolak melanjutkan sekolah. Katanya ia mau bekerja saja, ingin membuktikan diri. DARI ARGUMEN SOPAN SAMPAI PERTENGKARAN EMOSIONAL TIDAK BERHASIL MENGUBAH TEKADNYA. IA JUGA MEMAKSA MENINGGALKAN RUMAH DAN TINGGAL DI KOS. "AKU INGIN MANDIRI,". ALASANNYA. Bantu keuangan dari orang tua ditolaknya mentah-mentah. Padahal dengan ijazah SMU itu pekerjaan yang ia peroleh tentu amat terbatas penghasilannya.
Dengan sedih Wulan dan Hari memperhatikan kehidupan TITI yang pelan-pelan merosot dari standar keluarga mereka. Kadang-kadang, secara sembunyi-sembunyi, mereka mencari akal melepaskan TITI dan belitan utang, karena kalau ketahuan mentah-mentah, pasti TITI tolak mentah-mentah. Untung ia masih mau dihubungi lewat telepon atau sms. Tapi kalau ditanya, TITI selalu bilang, "aku hepi kok. Jangan kuatir Pa, Ma. Kalau sudah tak sanggup lagi, pasti aku pulang."
Sekarang usia TITI menginjak 22 tahun. Kedua kakaknya sudah "jadi orang", bahkan satu sudah menikah. Sedangkan TITI masih saja jadi tenaga administrasi di sebuah perusahaan kecil. Baru-baru ini ia bilang, Pa, Ma, aku mau merantau ke Singapura. Coba-coba jadi PRT. Gajinya lumayan." Wulan dan Hari shock berat.
Sepasang manusia sukses itu menangis sambil berpelukan. Frustasi. "TITI sepertinya sama sekali tidak peduli lagi pada perasaan kami, "keluh mereka kepada psikolog. tapi si ahli jiwa cuma mengatakan, TITI sedang mencari jati diri.
Cinta mestinya tidak luntur oleh apapun, termasuk oleh ketidakmasukakalan. Wulan dan Hari makin mengerti, jadi orang tua itu lebih-lebih adalah soal hati (INTISARI, JULI 2009)
Anehnya, beberapa tahun terakhir ini ada yang mengganjal. Si pengganjal itu bukan siapa-siapa, tapi justru TITI, si bungsu permata hati, yang selama ini lembut penurut. Selulus SMU, ia menolak melanjutkan sekolah. Katanya ia mau bekerja saja, ingin membuktikan diri. DARI ARGUMEN SOPAN SAMPAI PERTENGKARAN EMOSIONAL TIDAK BERHASIL MENGUBAH TEKADNYA. IA JUGA MEMAKSA MENINGGALKAN RUMAH DAN TINGGAL DI KOS. "AKU INGIN MANDIRI,". ALASANNYA. Bantu keuangan dari orang tua ditolaknya mentah-mentah. Padahal dengan ijazah SMU itu pekerjaan yang ia peroleh tentu amat terbatas penghasilannya.
Dengan sedih Wulan dan Hari memperhatikan kehidupan TITI yang pelan-pelan merosot dari standar keluarga mereka. Kadang-kadang, secara sembunyi-sembunyi, mereka mencari akal melepaskan TITI dan belitan utang, karena kalau ketahuan mentah-mentah, pasti TITI tolak mentah-mentah. Untung ia masih mau dihubungi lewat telepon atau sms. Tapi kalau ditanya, TITI selalu bilang, "aku hepi kok. Jangan kuatir Pa, Ma. Kalau sudah tak sanggup lagi, pasti aku pulang."
Sekarang usia TITI menginjak 22 tahun. Kedua kakaknya sudah "jadi orang", bahkan satu sudah menikah. Sedangkan TITI masih saja jadi tenaga administrasi di sebuah perusahaan kecil. Baru-baru ini ia bilang, Pa, Ma, aku mau merantau ke Singapura. Coba-coba jadi PRT. Gajinya lumayan." Wulan dan Hari shock berat.
Sepasang manusia sukses itu menangis sambil berpelukan. Frustasi. "TITI sepertinya sama sekali tidak peduli lagi pada perasaan kami, "keluh mereka kepada psikolog. tapi si ahli jiwa cuma mengatakan, TITI sedang mencari jati diri.
Cinta mestinya tidak luntur oleh apapun, termasuk oleh ketidakmasukakalan. Wulan dan Hari makin mengerti, jadi orang tua itu lebih-lebih adalah soal hati (INTISARI, JULI 2009)
0 komentar:
Posting Komentar