Dalam adat istiadat Jawa, ari-ari (plasenta) bayi baru lahir biasanya dipendam di tanah di samping kanan pintu masuk rumah, kemudian diberi penerangan dengan lampu setiap malam selama selapan (35 hari). Hal itu dilakukan karena ari-ari dipercaya sebagai saudara kembar jabang bayi.
Ketika saya bertugas melakukan survei di titik-titik sepanjang Sungai Bengawan Solo, saya menemukan budaya masyarakat yang menarik. Saya bertemu serombongan orang yang berjalan beriringan menuju pinggiran sungai.Di dalam rombongan itu, terdapat seorang perempuan muda yang menggendong sesuatu.
Para pengiringnya mengantarkan perempuan itu dengan menggunakan perahu kayu ke tengah sungai. Begitu sampai di tengah sungai, perempuan itu mengeluarkan sesuatu dari gendongannya, yang ternyata adalah sebuah kendil (periuk) dari tanah. Kendil itu diletakkan dengan sangat hati-hati di permukaan air dan dibiarkan hanyut terbawa arus tanpa tenggelam.
Rupanya itu adalah tradisi labuh ari-ari. Mereka sengaja tidak memendam ari-ari di depan rumah tetapi melabuhnya disungai. Alasannya, kalau ari-ari dipendam dan suatu saat mereka harus pindah rumah, mereka harus membawa tanah tempat ari-ari itu dipendam, lalu tanah itu harus disebarkan di rumah baru. Tentu merepotkan
Lain halnya kalau mereka melabuhkan ari-ari. Ari-ari yang dilabuh akan hanyut sampai ke laut. Tugas menjaga “saudara kembar” pun selesai sampai disitu. Jika mereka harus pindah rumah, mereka tidak perlu membawa tanah tempat ari-ari pendam. Tampaknya ini terkait dengan kondisi sosisal geografis mereka, tinggal di pinggir Bengawan Solo yang sewaktu-waktu harus pindah rumah
1 komentar:
Lain lubuk lain belalang. Perlu diteliti adat istiadat masyarakat disekitar Bengawan Solo
Posting Komentar